Friday, January 18, 2008

Exemplify Servant Leadership

January 2008' Devotion

Filipi 2: 1-11

Kemarin dalam ibadah hari Minggu, ada satu hal menarik yang diungkapkan oleh Pengkhotbah. Dia bilang bahwa sejarah membuktikan kejatuhan gereja atau kekristenan itu lebih disebabkan oleh karena masalah-masalah dari dalam, daripada masalah-masalah dari luar. Di banyak tempat, tekanan-tekanan dari luar seperti penganiayaan terhadap umat Kristiani pada akhirnya lebih membuat kekristenan bertahan daripada terpecah-belah. Tetapi sebaliknya, masalah-masalah internal, konflik dan perbedaan pendapat terbukti lebih ampuh untuk menyebabkan perpecahan gereja atau organisasi kristen lainnya.

Korban dari perpecahan-perpecahan gereja sudah banyak. Sayangnya, hal ini terus saja terjadi di banyak tempat, dari waktu ke waktu. Pada akhirnya yang tertinggal adalah umat Tuhan yang menjadi apatis, menjadi tawar hati atau pun menarik diri dari kegiatan gereja. Saya melihat hal ini dialami oleh sepupu saya yang tinggal di Belanda. Dia dulunya sering hadir di salah satu gereja Indonesia yang ada di sana. Jemaat tersebut sempat berkembang pesat. Sayangnya, ada satu isu tentang masalah keuangan yang terus bertiup, yang tentu saja peniupnya adalah orang-orang di gereja ini juga. Pada akhirnya orang-orang yang menjadi oposan pemimpin gereja ini memisahkan diri dan mendirikan gereja lain. Setelah itu yang terjadi adalah perebutan jemaat lewat hasut menghasut. Akibatnya, justru jadi banyak jemaat yang kecewa dan jadi malas ke gereja.

Kalau seperti ini, tentu harga yang dibayar menjadi terlalu mahal. Kita butuh belajar dari pengalaman supaya hal-hal seperti ini bisa dihindari. Sebenarnya, hal seperti ini bukan barang baru. Bahkan di awal mula kekristenan pun, bisa jadi Paulus merasakan adanya indikasi bahwa jemaat di Filipi mengarah ke sana juga, karena itu dia menulis Filipi pasal 2 ini. Di sini Paulus menyebutkan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya perpecahan, yaitu mencari kepentingan sendiri, menganggap diri sendiri lebih utama daripada orang lain, dan juga mencari puji-pujian yang sia-sia. Kalau diintisarikan, inti dari perpecahan sebenarnya adalah masalah ego. Semua ingin jadi yang utama, semua ingin jadi yang paling penting, semua ingin dapat pujian. Karena itulah orang jadi sikut menyikut, saling menjatuhkan. Tidak ada yang mau mengalah.

Sangat wajar memang saat orang mau jadi yang pertama, karena dimana-mana pelayanan buat yang first class, buat yang VIP itu lebih menyenangkan dari yang umumnya. Belum juga soal status sosial yang didapat, kehormatan, kekuasaan dan lain sebagainya. Murid-murid Tuhan Yesus pun punya sifat seperti ini juga. Mereka melihat bahwa ada yang berbeda dengan Tuhan Yesus, Dia bukanlah pemimpin politik atau apa. Tapi tetap saja ada harapan dari murid-murid Tuhan bahwa Tuhan Yesus bisa benar-benar menjadi raja di dunia ini, sehingga mereka paling tidak bisa jadi semacam menteri-menterinya Tuhan Yesus. Sehingga seringkali terjadi perdebatan diantara mereka, siapa yang terbesar diantara mereka, siapa yang layak dapat posisi di kiri dan kanan Tuhan Yesus. Mereka mau jadi yang terutama, yang paling penting.

Respon Tuhan Yesus tentang ini sungguh penuh dengan paradoks. Kejadian pertama saat Yohanes dan Yakobus minta dapat posisi di kiri dan kanan Tuhan Yesus (Markus 10: 42-45). Di situ Tuhan bilang bahwa siapapun yang ingin menjadi besar, haruslah menjadi pelayan. Siapa yang mau jadi terkemuka, haruslah menjadi hamba. Yang kedua saat selesai perjamuan makan, murid-murid bertengkar tentang siapa yang terbesar, di Lukas 22:24-30 jawaban Tuhan Yesus tetap serupa. Siapa yang mau menjadi yang terbesar, haruslah menjadi hamba.

Hal inilah yang juga ditekankan Paulus di kitab Filipi. Dia menasihatkan agar kita bisa menganggap orang lain lebih penting dari diri kita sendiri. Belajar menjadi serupa Kristus, yang telah mengosongkan dirinya dan tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai hak yang harus dipertahankan (ayat 6&7).

Satu-satunya manusia yang bisa memilih mau lahir dimana, dan memilih siapa yang bisa jadi orang tuanya adalah Yesus. Tapi lihatlah apa yang dipilihNya. Dia memilih lahir di kandang, kandang pinjaman pula. Dilahirkan dari pasangan yang sangat sederhana, ayahnya hanya seorang tukang kayu. Seumur hidupnya juga penuh dengan kesederhanaan, bahkan Dia banyak disalahmengerti, dicurigai, dihina, disiksa, dan lain sebagainya. Padahal Dia adalah Allah. Kalau mau bicara hak, dialah yang paling berhak dihormati, disanjung dan dimuliakan. Saat Dia akan ditangkap untuk disalib, Dia punya hak untuk memanggil malaikat-malaikatNya untuk membela Dia. Tapi itu semua tidak dilakukanNya. Dia mengosongkan diriNya, rela menjadi manusia, bahkan rela dipandang hina.

Di Eropa, banyak kerajaan-kerajaan yang saling berkunjung satu dengan yang lain. Suatu hari, datang seorang bapak dengan pakaian sederhana mengunjungi satu gereja di Inggris. Dia duduk di satu tempat duduk di bagian depan. Lalu datanglah seorang gadis bangsawan, dan saat melihat bapak ini dia langsung jadi tidak senang. Ini ternyata karena bapak tersebut duduk menempati tempat yang biasa dia tempati. Singkatnya, gadis ini lalu meminta ajudannya menyuruh bapak ini pindah. Bapak ini menurut, lalu duduk di bagian belakang. Setelah kebaktian selesai, gadis ini didatangi pastor di gereja tersebut. Pastor itu bertanya, ke mana bapak yang tadi duduk disini? Bapak itu adalah raja di Belgia. Gadis ini langsung jadi malu. Mau mencari raja tersebut untuk minta maaf, raja tersebut sudah tidak kelihatan lagi.

Seringkali kita juga bersikap seperti gadis ini, merasa lebih penting, merasa lebih berhak. Tapi bukan seperti itu panggilan Tuhan untuk kita. Tuhan memanggil kita untuk jadi pelayan. Posisi sebagai pemimpin yang Tuhan berikan bukan digunakan untuk menguasai orang lain, melainkan untuk melayani orang lain. Di Alkitab sebenarnya tidak ada istilah kepemimpinan. Banyak pemimpin luar biasa seperti Daud, Musa, Abraham.... tapi Tuhan tidak menyebut mereka sebagai ’pemimpinku yang setia’, melainkan sebagai ’hambaku yang setia’.

Menjadi hamba butuh kerendahan hati. Bukan artinya kita jadi merasa kecil, tak berarti dan tak punya dignity. Tapi menjadi hamba artinya kita mau mengosongkan diri kita, ourself and ego being made nothing, supaya kita bisa digunakan oleh Tuhan untuk melayani orang lain, dan menolong orang lain menemukan panggilan Tuhan dalam hidup mereka. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan yang melayani. Dan untuk inilah kita dipanggil.

Monday, January 14, 2008

Willing to be Forgotten

November's devotion
Reading: Luke Chapter 2: 8 – 20, 41 – 51.

A few days ago I read an article in a newspaper, it was written by one of my favorite writer who usually write articles about wisdom. The title was ‘Berbahagia Menjadi Nomor Dua’, (happy or satisfied to be the number two). I was struck by this title, because since I was small I was so used to the message from teachers or adults around me saying that we should strive to be the number one. Being the number one means that we are better than other people who are competing against us. So why should we feel content by being the number two? We should be the number one to get people’s recognition.

I guess most of us are used to this kind of message because they’re around us so much. And this is the world that we are living in. In working place, in school, in business, even in church… this world tells you that you are great if you can be the number one. So you have to compete to reach the top position. Sometimes, the road that you take in order to win something is not that important anymore, as long as you win. For some people, it doesn’t matter if you hurt others, because that’s what competition is all about, you can’t avoid it, as long as you can get to the center stage. That’s how the world defines greatness.

But in the article that I read, the writer argues that the genuine greatness is when you actually willing to be the number two. You are great when you have done much, you have contributed a lot, but you are OK by staying in the back stage. You let others to gain the credits because you are not seeking people’s recognition. And when you are humble enough to do that, it means that you are able to defeat your ego that tells you that you have to be the hero. When you are happy to be the number two, that means you can accept that there is someone who is better than you in something, and this requires greatness.

In today’s reading I learn something that relates to this from Mary. Imagine, the shepherds come from a place that is far just to meet them and worship her baby. And these shepherds said that angels spoke to them, saying that her baby is Christ the Lord, the Savior who came from the highest heaven! When the shepherds told her about this, look in verse 18, it is said that all were amazed! This is a miracle. But look at the way Mary respond, verse 19: ‘Mary remembered all these things and thought deeply about them’. In another translation, it is said that Mary keeps all things in her heart. She did not brag upon the fact that it was her who carried the baby for 9 months. She did not say to the shepherds ‘look, the baby that you are worshipping right now is my baby. Out of all women here on earth it is I who was chosen to be his earthly mother.’ She did not try to look heroic in front of the shepherds; she did not try to gain credit for all of her contribution. She let Jesus to be in the center stage, she did not try to steal Jesus’ popularity, and she didn’t want to get the shepherd’s credits and praise. She just keeps quite, humbly keep the great things that is currently happening in her heart.

Same thing happened again when Jesus was bigger. One day Mary and Joseph took the boy Jesus to a festival. When the festival was over they started to go back home but the boy Jesus stayed in Jerusalem. They have traveled a whole day already when they finally realized that Jesus was not in the group. After three days in search for Jesus, they found him in the temple, sitting with adults, Jewish teachers, intelligent people… and Jesus was having discussion with them, just like adults. And mind you, only adults who are intelligent enough are able to discuss something with the teachers… So as Jesus parents, they must be really proud to see that their kid is able to do something that they were not able to do, in such a young age. But how did Mary respond to this? In verse 51, it is stated that ‘His mother (Mary) treasured all these things in her heart’. She did not say, hey look, he’s my boy, and I raised him to be this intelligent or things like that. Again, despite of her great contribution by raising Jesus she did not say anything, she’s willing to be at the back stage, and she’s even willing to be forgotten. She realized that the center of attention should be on Jesus, and not on her. She knows what her part is.

Sometimes, we work so hard on something, but we didn’t get the credit for it because maybe we are working on the back stage. It’s like in the movie, people usually only recognized the actor/actrees. People said oh this actor plays good, but they forgot that there’s a director who directed the actor, there’s this camera men who work hard to get the best angle of the actor, and there’s the editor who cut all the bad shots of the actor.
What if in your working place, or in your church, you are working in the back stage as well, and you don’t get much attention or credit for things that you are doing? Will you feel upset? Or will you be like Mary, who keeps all things in her heart, knowing that God knows what she has done and appreciating it?

Be Strong in the Lord and Be of Good Courage

July' devotion

Reading from Matthew 14: 22 – 36 (Jesus Walks on Water)

Ada satu lagi keajaiban yang dilakukan Tuhan Yesus, yang diceritakan di Matius 14: 22 – 36, yaitu Tuhan Yesus berjalan di atas air. Kisahnya pendek, tapi ada begitu banyak hal yang bisa dipelajari dari sini. Lewat kisah ini saya rindu mengajak kita belajar dari setidaknya tiga tokoh yang ada di kisah ini, yaitu murid-murid Tuhan, Petrus, dan Tuhan Yesus sendiri.

Yang pertama, mari kita memikirkan tentang kisah ini lewat perspektif dari murid-murid Yesus. Situasinya adalah, murid-murid Yesus itu baru saja bersama Tuhan Yesus memberi makan 5 ribu orang. Lalu di ayat 22 dicatat, Tuhan memerintahkan mereka untuk naik ke kapal. Di terjemahan bhs Inggris dikatakan, Jesus made the disciples get into the boat. Jadi disini saya melihat bahwa mungkin murid2nya sedang buat sesuatu yang lain, mungkin mereka lagi heboh membahas keajaiban yg baru terjadi yaitu 5 ribu orang bisa makan bermodalkan 5 roti dan 2 ikan, mungkin ada yang mau menyuruh 5 ribu orang ini pulang dulu atau apa, tapi somehow, Jesus made the disciples get into the boat whether they like it or not. Sudah begitu, cuaca juga lagi buruk, dicatat bahwa angin kencang bertiup, kapalnya goyang2, Tuhan Yesus gak ada lagi, wah semua murid takut. Disini juga dibilang bahwa setelah menyuruh orang banyak pulang, Tuhan Yesus pergi berdoa dulu, gak langsung nyusul murid2Nya naik kapal, pakai naik ke atas bukit pula, jadi ada saat yang lumayan lama dimana murid2 dibiarkan sendiri di tengah ombak yg ganas. Mereka khawatir, mereka takut, suasana tegang. Keadaan begitu terus sampai subuh, dan tiba2 tampak bayangan putih mengapung di atas air yang berjalan mendekat ke arah kapal mereka. They cried out in fear, begitu kata Alkitab. Sungguh2 ketakutan.

Kalau kita analisa, rasa takut itu muncul sebenarnya dari rasa tidak aman. Dan rasa tidak aman ini muncul karena rasa tidak percaya. Seperti yang dibagikan pak Kresna, semakin kita kenal dekat dengan seseorang, semakin low risk yg kita hadapi karena kita tau orang ini seperti apa, kalau dia perilakunya sesuai dengan yg kita harapkan, kita bisa percaya padanya.

Nah, kalau balik lagi ke soal murid2 Tuhan, dari sini kita bisa melihat bahwa sebenarnya, mereka kurang mengenal Tuhan mereka. Di pasal2 sebelumnya diceritakan bagaimana murid2 ini menyaksikan keajaiban2 yang Tuhan buat. Tuhan sendiri juga sudah berulang kali mengingatkan agar murid2 jangan khawatir, di pasal 10 Tuhan bilang don’t be affraid, kamu jauh lebih berharga daripada burung. Jangan takut. Tapi begitu mereka sendiri yang mengalami masalah, mereka lupa tentang itu semua. Mereka bahkan tidak mengenali Tuhan Yesus, dipikirnya hanya hantu yang bisa jalan di atas air, lupa bahwa Tuhan bisa buat berbagai keajaiban. Murid2 kurang percaya, karena kurang mengenal Tuhan Yesus.

Yang kedua kita belajar dari Petrus. Petrus disini disorot secara khusus karena dia adalah seorang risk taker, dia berani mengajak bicara sosok di atas air yang semua orang lain pikir adalah hantu. Bahkan, dia berani menawarkan diri; ”Tuhan kalau itu Engkau, suruhlah aku untuk datang kepadaMu”, katanya. Saya bayangkan Petrus ini benar2 orang feeler banget yah, yg spontaneus begitu. Kalau thinker soalnya, dia akan berpikir2 dulu. Air itu kan tidak solid, jadi logikanya kalau diinjak tenggelam dong. Atau berpikir, kalau itu memang Tuhan amannya biar saja Tuhanlah yang ke sini gak perlu saya ke sana. Ini kelemahan thinker, terlalu banyak menghitung2 dengan logika, sehingga kalau disuruh percaya kadang susah, terlalu bersandar pada pikiran sendiri soalnya. Tapi Petrus tidak, dia tanpa berpikir susah2 langsung secara spontan merasa aman, oh kalau itu Tuhanku, aku pasti akan selamat. Dia berani ambil resiko karena dia punya iman.

Masalahnya adalah, imannya itu ternyata dangkal. Dengan mengikuti feelingnya dia sudah bisa jalan beberapa langkah, tapi di ayat 10 dibilang bahwa disaat dia merasakan tiupan angin, dia ketakutan, kehilangan imannya, dan mulai tenggelam. Petrus ternyata tidak jauh beda dengan murid2 yang lain. Awalnya punya iman, tapi begitu ada masalah (angin), dia sadar akan besarnya resiko dan jadi hilang percaya.

Nah, terakhir mari melihat kisah ini dari sisi Tuhan Yesus. Saat melihat murid2Nya takut, Dia berkata dalam terjemahan bahasa Inggris ayat 27: ”Be brave!! It is I, dont be afraid”. Jadilah berani, jangan takut! Kalimat ini sudah begitu sering Tuhan ucapkan. Ini bukan kali pertama Tuhan Yesus dan murid2 ada di situasi badai. Sebelumnya di pasal 8, waktu itu Tuhan sedang tidur dan kapal sedang dilanda badai. Menanggapi murid2 yang panik Tuhan berkata di ayat ke 26, ”your faith is so small! Why are you so afraid?” Tuhan terdengar gusar menghadapi murid2nya yang kurang percaya.

Teman2, Tuhan gak pernah minta kita untuk punya blind faith, alias main percaya aja tanpa ada dasar yang kuat. Kepada murid2nya Dia berkali2 mengeluarkan pernyataan yg encouraging; jangan khawatir, jangan takut. Selain di pasal 10 ada juga di pasal 6:30: rumput yang ada hari ini dan besok layu saja dipelihara. Apalagi kamu. Sekali lagi disitu Tuhan menegur kepada kita yg terlalu khawatir; “your faith is so small!”

Dia tidak saja berkata2. Lebih dari itu, Dia menunjukkan kuasanya lewat keajaiban2 yg gak bisa diolah pikiran, alias hanya iman saja yang bisa menjelaskan. Masalahnya, kita sering lupa tentang apa saja yang pernah kita lalui bersama Tuhan, pertolongan2 apa yang Tuhan pernah berikan saat kita sedang kesusahan. Sehingga begitu kita ada masalah, kita easily get discouraged. Seperti murid2Nya, kita lupa akan pertolongan2 Tuhan selama ini.

Mari kita lihat keajaiban2 yang pernah diperbuat Tuhan. Lewat keajaiban2 ini, bisa ditarik benang merah yaitu Tuhan mau menunjukkan bahwa yang terpenting adalah iman. Contohnya di pasal 8, Tuhan menyembuhkan orang yang sakit kusta. Orang kusta ini bilang, ”if you are willing (to heal me), You can do it”. jadi buat orang kusta ini, masalahnya bukan Tuhan Yesus bisa tidak nyembuhin saya. Orang kusta ini punya iman bahwa Tuhan bisa, yg jadi isu disini adalah Tuhan mau tidak? Dan ternyata karena melihat iman orang ini Tuhan menyembuhkan.

Masih di pasal 8, ada perwira yang memohon hambanya disembuhkan. Dia bilang, Tuhan gak usah repot2 datang, katakan saja sepatah kata dan dia pasti sembuh. Di situ dikatakan ’Jesus was amazed’, kagum dengan iman perwira ini. Tuhan bilang ’your faith is so strong’, dan karena itu keajaiban terjadi yaitu hamba perwira ini disembuhkan.

Pasal selanjutnya pasal 9, ada perempuan yang mengalami pendarahan. Dia beriman, asal bisa sentuh Tuhan saja, dia pasti sembuh. Dan melihat imannya Tuhan menyembuhkan dia, dan Tuhan bilang, “your faith has healed you”. Bukan kelebihannya, bukan kebaikannya, bukan pengetahuannya. Tapi yang menyembuhkan perempuan ini adalah imannya.

Buat Tuhan, iman itu adalah masalah yang sangat penting. Menanggapi orang buta yang minta disembuhkan, di pasal 9 Ayat 28 Tuhan bertanya: ’do you believe that I can do this?’ Tuhan kan bisa saja langsung menyembuhkan orang ini tanpa bertanya2. Jawaban orang ini tidak akan sedikitpun menambahkan atau mengurangi kemampuan Tuhan dalam menyembuhkan. Tapi Tuhan bertanya juga, karena Ia ingin mendengar pengakuan iman kita. Ngapain Ia melakukan keajaiban bila kitanya tidak percaya bahwa Ia sanggup. Dan selanjutnya, mendengar iman dari orang buta ini, di ayat 29 Tuhan berkata: ‘it will happen to you just as you believed’. Akan terjadi pada kita seperti apa yg kita percayai. It is in the state of mind.

Terakhir, yang saya pelajari adalah, Tuhan memang berjanji akan melindungi kita, tapi dia tidak pernah berjanji untuk meniadakan badai. Contohnya di pasal 14 ini. Tuhan kan tau bahwa Petrus akan ketakutan dengan angin yang besar. Dia juga mampu meniadakan angin itu agar Petrus dapat berjalan mendekatiNya dengan tenang. Tapi tidak, Dia tidak melakukannya. Dia membiarkan ada badai, ada angin kencang dalam kehidupan kita untuk melihat, kita punya iman gak bahwa dengan Tuhan kita akan mampu mengatasinya? Percaya gak bahwa Tuhan mampu menolong kita?

Perhatikan di bagian paling akhir dari pasal 13 dikatakan bahwa “Jesus did only a few miracles because they had no faith’. Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang sama, membatasi pekerjaan Tuhan lewat kita karena kita tidak percaya Dia sanggup. Kadang kita suka terlalu ragu, apa kita mampu. Dan respon yg keluar saat Tuhan memberi tugas adalah seperti respon dari Musa, kita bargaining dengan Tuhan, kita bilang bahwa kita gak pandai bicaralah, gak bisa ini dan gak bisa itu... semua itu karena kita terlalu meragukan diri kita sendiri. Tetapi ingat bahwa di saat kita terlalu meragukan diri kita, itu sama juga dengan kita meragukan Tuhan (Sang Pemberi Tugas). Seakan2 kita ragu bahwa Ia akan sanggup memperlengkapi kita. Balik lagi ke pasal 14, 31, disitu Tuhan bilang: ”your faith is so small. Why did you doubt me?” Tuhan bertanya, kenapa kamu meragukan Aku? Kebayang kalo Tuhan itu mengatakan ini dengan nada tersinggung.

Di pasal selanjutnya Tuhan masih bersabar, dengan terus melakukan mujizat2 yg hanya bisa dimengerti dengan iman (lihat pasal 15: 28, 16: 8 – 10). Dan di pasal 17 ayat 14 – 27 dituliskan ttg Tuhan mengusir setan, hal yang tidak dapat dilakukan murid2Nya karena their ’faith is much too small’ (ay. 20). Di kisah ini dituliskan bagaimana Tuhan mengeluarkan respon yang sangat keras kepada murid2Nya, katanya (ay. 17) ”you unbelieving and evil people. How long do I have to put up with you?” Jangan buat Tuhan jadi tidak sabar dengan ketidakpercayaan kita.

Psalm 91:14, Tuhan berkata “I will keep him safe, because he trusts in me”. Tuhan hanya akan bisa bebas melakukan perkara2 yang besar lewat kita, jika kita percaya. Do you believe that I can do this? Tuhan bertanya kepada kita.

Dari Sebelah Mana?

Saat retreat departemen lalu ada percakapan (perdebatan?) menarik. Lupa awalnya bagaimana kita jadi membahas mengenai dari bagian bumi sebelah mana Tuhan akan datang. Rasanya memang sulit membayangkan cara Tuhan akan datang, mengingat bumi itu bulat; kalau datangnya dari bagian bumi sebelah barat, wah kasian dong yang sebelah timur gak melihat. Belum lagi perbedaan waktu; sebelah sini siang di sana malam, dan sebagainya. Saya mengambil waktu untuk merenungkan hal ini, dan semakin saya memikirkannya, semakin saya sadar bahwa sampai kapan pun gak akan masuk di otak/akal kita tentang bagaimana cara Tuhan datang. Kenapa? Karena Dia memang terlalu besar untuk otak kita yang sangat terbatas ini.

Sekarang coba bayangkan kita menjelaskan tentang pizza ke anak2 di daerah pedalaman yg nda ada TV, gak pernah tau tentang pizza. Pizza itu bahannya dari roti, bukan dari sagu... Mungkin mereka akan bertanya, roti itu apa? Kita bilang, roti itu tepung yang pakai ragi sehingga bisa mengembang. Ragi itu apa? Mmmm... bayangin balon deh, balon... dari kempes mengembang karena kita tiup, ada udara. Ragi itu ibarat udara yang meniup rotinya. Si anak mungin kebayang, haaa… makanan tapi kayak balon bisa terbang2 gitu, wah hebat juga…. Nah lho… susah kan….

Akan sama sulitnya kalau Tuhan akan menggambarkan keberadaanNya kepada kita. Kita gak pernah melihat Dia dan kalaupun dijelas2kan, akal kita gak akan mampu membayangkannya. Makanya Tuhan mereduksi diriNya yang penuh kemuliaan, yang tak terbatas itu menjadi seperti manusia. Kita mungkin bilang, lho kan di Alkitab Tuhan digambarkan punya mata, punya telinga, punya tangan… Iya memang, tapi menurut saya, penjelasan2 di Alkitab ini pun sudah diserderhanakan sedemikian rupa sehingga kita mampu membayangkannya. Kalau tidak mengambil bentuk2 manusia seperti ini, mereduksi diriNya sedemikian rupa, kita gak akan pernah bisa membayangkan keberadaanNya. Saat datang ke dunia, Dia pun harus mengambil rupa manusia karena kalau gak, mungkin manusia (kita) akan ketakutan. Seperti kita mau nolong semut, akan bisa terjadi hanya kalau kita jadi seukuran semut kan….

Nah sekarang, apakah Tuhan akan datang kembali dengan image dalam pengertian kita seperti saat Ia mengambil rupa manusia? Kita tidak tahu. Tuhan sudah menggambarkannya di Alkitab tapi tetap saja sulit dimengerti, karena memang akal kita terbatas untuk itu. Semoga dengan gak punya jawaban, kita makin sadar betapa kecil dan terbatasnya kita ini, dan betapa besarnya karunia Tuhan, yang mau perhatikan kita manusia2 lemah seperti ini.

The Reason

Renungan Devosi, March 21 2007

Amsal 16

“Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing – masing.” (Amsal 16: 4a)

Di pesawat saya dan seorang teman saya terlibat percakapan tentang rencana-rencana kita ke depan, hal-hal yang kita ingin lakukan, cita-cita dan harapan kita. Dan akhirnya kita berdua menyimpulkan bahwa semakin kita bertambah dewasa, semakin banyak hal yang harus kita perbuat, semakin banyak tanggung jawab yang dipercayakan kepada kita. Akibatnya, tidak bisa dihindari saat melihat ke depan sana ada rasa khawatir yang terselip. Apakah saya akan berhasil menjawab semua tantangan yang ada? Apakah saya bisa mencapai apa yang dicita-citakan saat ini? Bagaimana cara mencapainya? Dan mau ke arah mana hidup ini? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kita berdua sependapat bahwa sejak kurang lebih ulang tahun ke dua puluh, tentu saja kita bersyukur ya diberi tambahan umur lagi. Tetapi ada juga respon-respon kekhawatiran seperti ini. Wah, umur sudah bertambah satu, semakin dewasa, semakin bertambah tanggung jawab. Waktu kecil kan kita secara penuh ditanggung orang tua kita. Saat ulang tahun yg ada dipikiran cuma tentang mo dapat kado apa, mo makan di mana, etc. Tetapi semakin kita bertambah umur, semakin ada rasa takut, kecemasan, dan semakin kita mempertanyakan, apa tujuan kita hidup di dunia ini?

Saya teringat satu Pengkhotbah di gereja saya pernah mengatakan bahwa, kita gak mungkin diciptakan Tuhan untuk hidup di dunia ini hanya untuk menuh-menuhin bumi. There’s got to be a certain reason. Dan tiap-tiap kita bertugas untuk memenuhi tujuan hidup tersebut sebelum kita menghadap Dia di surga. Nah, untuk bisa memenuhi tujuan hidup kita, jawabannya gak datang dari orang tua kita, teman, atau pun orang lain. Kenapa? Karena yang menciptakan kita itu Tuhan, jadi kalau mau tau tujuan hidup kita udah sepantasnyalah tanya ke Tuhan. Tuhan yang punya jawabannya. Seperti di ayat 4a ini dibilang: Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing. Garis bawahi kata segala sesuatu. Everything. Gunung manado tua ada disitu untuk tujuannya sendiri. Kenapa pulau Bunaken ada disitu dan bukan ada di Papua, misalnya? Itu ditentukan Tuhan untuk satu tujuan juga. Pohon diciptakan Tuhan juga ada tujuannya. Segala sesuatu. Dan itu termasuk kita juga. Jadi bisalah kita personalize ayat ini menjadi Tuhan menciptakan Lily, menciptakan Ibu Ike, menciptakan Donald, untuk tujuannya masing2.

Ok, sampai disini mungkin kita sudah sependapat. Tetapi uraian saya so far belum menjawab, apa tujuan hidup kita masing2? Kenapa Tuhan menciptakan kita? What on earth am I here for?

Pertanyaan2 ini ditanyakan dalam buku Purpose Driven Life, ditulis oleh Rick Warren. Saya mendapat berkat besar dari buku ini. Dari buku ini saya mengerti bahwa saya ada di bumi ini bukan karena kebetulan. I am who I am for a reason. Saya diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangan saya untuk suatu alasan. Kenapa? Karena ‘segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia’ (Kolose 1 : 16).

Diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Kita ada di dunia ini bukan untuk menyenangkan orang lain saja, atau juga untuk menyenangkan diri kita sendiri dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Tapi, kita ada untuk menyenangkan Dia. Roma 11 : 36 ‘Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya’. Inilah alasan kenapa kita ada. Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk kemuliaanNya karena Tuhan sendiri adalah kemuliaan.

Ok, muncul lagi pertanyaan. Bagaimana hidup kita bisa membawa kemuliaan untuk Dia? Di buku ini Rick Warren menyebutkan beberapa cara, antara lain dengan menyembah Dia, dengan mengasihi orang lain, dengan bersaksi tentang Dia, dan dengan melayani orang lain dengan talenta kita.

Rick Warren menggambarkan bahwa hidup itu seperti tes. Kita senantiasa di tes Tuhan dalam segala sesuatu yang kita perbuat. Di Alkitab ada contoh orang-orang yang gagal dalam tes yg diberikan Tuhan, seperti Adam dan Hawa, Daud… tapi juga banyak contoh orang yg berhasil melewati pencobaan besar, seperti Daniel, Esther, Ruth…

Hidup ini adalah tes, cuman sementara. Aslinya kita ini disiapkan untuk kehidupan kekal. Tapi sayangnya dalam kehidupan kita sehari2 kita seringkali terlalu sibuk ini dan itu. Kita sibuk cari uang, ngumpulin duit… kita sibuk untuk memenuhi keinginan kita, yang seringkali cuman didasari oleh keinginan-keinginan konsumtif, bukan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan kita. Apa yg kita kejar adalah hal-hal yg cepat berlalu. Kita lupa, bahwa kita di dunia ini cuman sebentar. Seringkali inilah yang membuat kita hidup tanpa membawa kemuliaan untuk Tuhan.

Mari kita ingat Tuhan Yesus. Ia sendiri hidup di dunia hanya 33 tahun. Apakah hidupnya membawa kemuliaan bagi Allah? Tentu saja, karena saat di dunia Ia benar-benar melakukan apa yang Allah kehendaki utk Ia lakukan. Ia memenuhi tujuannya untuk ada di dunia, yaitu untuk mati menebus dosa-dosa kita.

Bagaimana dengan hidup kita, apa kita hanya mau sibuk utk mengejar hal-hal yg sifatnya sementara, atau kita mau hidup utk menyenangkan Tuhan?

Setiap tahun baru saya senang melihat kembang api. Setiap ada yang indah, saya selalu berdoa. Tuhan, hidup saya cepat berlalunya, seperti kembang api ini. Just in a blink of an eye, and it’s gone. Tetapi saya rindu, dalam saat yang sebentar itu, saya bisa mempersembahkan sesuatu yang terindah untuk Tuhan, agar bisa menerangi langit malam yg gelap – walau hanya untuk sesaat.