Thursday, May 14, 2009

Kakak Perempuan Musa

Keluaran 2: 1-10


Ingat siapa nama kakak perempuan Musa? Miriam? Marta? Nana? Nabot?

Sudahlah, kalau tidak ingat atau tidak tahu namanya mungkin lebih baik, karena di Alkitab memang tidak dicatat siapa namanyaJ Tapi sesungguhnya, nama boleh tidak dicatat, tapi jasanya sangat vital buat nasib Musa dan tentu saja berarti juga berdampak bagi bangsa Israel.

Musa lahir disaat raja Firaun gelisah dengan ledakan populasi orang Israel di tanah Mesir. Firaun takut bahwa bangsanya sendiri akan dikalahkan oleh orang-orang Israel yang notabene hanya menumpang di tanah Mesir. Firaun berusaha mengontrol populasi lewat kerja paksa: orang-orang Israel dijadikan budak untuk membangun kota Piton dan Raamses bagi Firaun. Pikirnya, bangsa Israel bisa berkurang jumlahnya karena dalam tekanan. Tapi rupanya sebaliknya yang terjadi. Bangsa Israel makin beranak-pinak!

Firaun pun putar otak, kali ini caranya adalah dengan infanticide – kali ini bukan female infanticide seperti banyak dilakukan di India, tetapi yang harus dibunuh adalah anak-anak laki-laki. Mungkin Firaun percaya bahwa anak laki-laki berbahaya, mereka bisa jadi tentara Israel yang kuat bila besar nanti. Tidak disangka, adalah seorang anak perempuan, kakak dari Musa yang baru lahir, yang ternyata melakukan sesuatu yang tidak diduga bagi bangsa Israel.

Saat ibunya putus asa tidak lagi bisa menyembunyikan Musa karena ia semakin besar, Musa kemudian dihanyutkan di sungai Nil karena memang inilah yang diperintahkan oleh Firaun. Melawan perintah raja tentu tidak mungkin, apalagi ibu Musa berasal dari keluarga Ibrani yang ditindas. Dia lalu membuat sebuah peti pandan, dilekatkannya dengan gala-gala dan ter sehingga bisa mengapung untuk sementara waktu. Musa pun diletakkanya disana. Musa kecil menangis, sementara kakaknya menyaksikan dengan turut bersedih hati. Kakak Musa tidak tega berpisah dengan adiknya yang baru tiga bulan.

Disaat ibunya keluar kemah untuk pergi ke tepi sungai Nil dengan membawa Musa kecil, ia pun ikut. Berdua mereka menahan tangis saat melepas Musa.

Bisa dipastikan ibu Musa sedih dan hancur hati harus membuang anaknya, sehingga sebelum Musa yang ditaruhnya dalam peti pandan itu hanyut tak terlihat ia sudah buru-buru pergi. Tetapi kakak Musa tinggal untuk melihat apa yang terjadi dengan adiknya. Apalagi ia ingat bahwa putri Firaun senang mandi di sungai Nil. Mungkin saja putri Firaun akan tergerak hatinya melihat Musa.

Ternyata penantiannya berhasil. Setelah mengikuti ‘perjalanan’ Musa beberapa saat, ia melihat putri Firaun dan dayang-dayangnya mandi. Berusaha menahan diri dan sambil terus berdoa, kakak Musa berharap putri Firaun segera melihat Musa. Dan benar, putri Firaun mendengar tangisan Musa dari peti itu! Ia pun memerintahkan dayang-dayangnya untuk mengambil Musa dari sana.

Sesaat, kakak Musa berpikir apa yang harus dilakukannya. Ia lega karena setidaknya putri Firaun punya belas kasihan dan terlihat jatuh hati kepada bayi Musa sehingga mau menyimpan anak ini. Ibunya pasti akan senang mendengar ini. Tapi tunggu, masih ada yang bisa dilakukan! Putri Firaun tentunya akan butuh inang untuk menyusui merawat Musa, mengapa tidak mencalonkan ibunya sendiri? Tapi ini berarti kakak Musa harus keluar dari persembunyiannya, memberanikan diri berhadapan dengan sang Puteri.

Demi Musa, sang Kakak memberanikan diri. Mungkin dia disambut tatapan dingin dayang-dayang putri Firaun. Mungkin ada yang mau mengusirnya – dari mana datangnya anak ini, mengganggu saat mandi sang Puteri? Tapi sebelum sempat diusir kakak Musa langsung menyampaikan tawarannya kepada Putri Firaun. “Akan kupanggilkankah inang penyusu dari perempuan ibrani untuk tuan puteri?” tanyanya. Putri Firaun berpikir, bangsa ibrani memanglah untuk dipekerjakan, dan dengan demikian ia langsung setuju.

Akhirnya, Musa pun bisa tetap disusui oleh ibunya. Ibunya bahkan bisa membesarkan Musa untuk beberapa lama sebelum Musa menjadi dewasa. Pasti disaat-saat inilah, Musa dididik dan diingatkan akan identitasnya sebagai orang Ibrani, walaupun ia mendapat keistimewaan diangkat oleh puteri Mesir. Pada akhirnya berbekal kesadaran identitas inilah Musa bangkit melawan Firaun untuk melepaskan bangsanya dari ketertindasan.

Jika Musa sejak kecil dirawat oleh putri Firaun… disusui oleh entah ibu siapa dari Mesir… besar di tengah gemerlapnya istana Mesir… mungkin dia tidak akan tahu atau peduli dengan pergolakan bangsanya. Tapi ada seorang kakak perempuan yang membuat perbedaan, walaupun ia tidak dicatat namanya.

Sunday, February 01, 2009

Iman yang Nyata

Catatan khotbah dari Pdt. Timotius Fu, February 1 2009

Keluaran 14:1-14
umat Israel keluar dari tanah Mesir, dikejar oleh Firaun dan pasukannya)

Kita tidak dapat membuktikan iman kita bukan di kondisi penuh bunga, indah, aman. Justru di saat penih krisis kehidupan barulah kita bisa membuktikannya. Contohnya umat Israel pada pembacaan Keluaran 14 ini. Mereka terdesak, di depan ada laut, di belakang ada Firaun. Saat itu mereka berkeluh kesah kepada Musa karena sedang dalam kesulitan besar. Mereka tidak percaya kepada Musa, juga tidak percaya kepada Allah.

Di tengah-tengah keputusasaan, untung masih ada Musa yang tetap bertahan dengan imannya. Pada akhirnya dengan cara yang ajaib, laut Teberau dibelah oleh Tuhan dan mereka menang. Di satu sisi ada tangan Tuhan yang menyertai, tapi di sisi lain keberhasilan ini dapat terjadi karena adanya iman.

Hidup kita pada dasarnya juga sedang menghadapi krisis. Depan kita mungkin tidak ada laut atau orang Mesir di belakang kita. Tapi tetap hidup kita sama tidak amannya, walaupun bentuknya berbeda. Dunia ini makin banyak memberikan air mata kepada kita.

Karena itu kita perlu belajar dari iman Musa. Dua hal penting yang perlu diingat adalah:

1. Allah turut bekerja dalam segala sesuatu yang dihadapi umat Israel.
Pembacaan pada pasal ini dimulai dengan firman Tuhan, bahwa Ia akan mengeraskan hati Firaun supaya bangsa Mesir bisa melihat kemuliaan Tuhan (ayat 1). Musa yakin bahwa segala sesuatu yang dihadapi bangsa Israel adalah campur tangan Tuhan.

Pertanyaannnya, apakah Tuhan senang melihat umatNya menderita? Apa Dia berlaku seperti di film-film dimana penjahatnya tertawa terkekeh-kekeh melihat orang lain mengalami kesulitan?

Tidak.

Lalu kenapa Tuhan izinkan kesulitan? Karena Tuhan mau melatih iman kita, mau membentuk kita untuk suatu maksud yang lebih baik lagi.

Tuhan terlibat dalam segala sesuatu, tidak saja mengetahui sejarah perjalanan yang dialami oleh umat manusia, tapi dia tahu dan mengatur setiap detil yang terjadi.
Tuhanlah yang menjadi sutradara kehidupan kita. Tuhan memberikan banyak warna dalam kehidupan kita agar kita menjadi tangguh.

Contohnya adalah pengrajin keramik. Dalam membentuk keramik yang indah, tanah liatnya harus berulang kali dibentuk, bila belum sesuai dihancurkan lagi, dibekukan lagi... lalu kemudian dibakar à pembakarannya tidak terlalu tinggi suhunya sampai keramik itu pecah, atau terelalu rendah sampai keramik itu tidak jadi. Kemudian si pengrajin akan melukis diatasnya, memberi warna.

Sesungguhnya kehidupan kita juga sama. Tuhan merencanakan semuanya, Tuhan memoles kita supaya kita menjadi keramik yang mahal. Ada kalanya prosesnya indah, menyenangkan. Tapi ada kalanya juga terasa sakit, dan penuh dengan air mata. Tapi percayalah Tuhan tetap rencanakan semua untuk kebaikan kita.

Kapan penderitaan terasa begitu berat?

Penderitaan terasa berat bila kita tidak mengerti apa tujuan dari penderitaan tersebut. Kita jadi marah, kita jadi protes. Pendeta Timotius mengambil contoh dari kehidupan pribadinya. Dia bertanya, tidak tidur itu susah atau tidak susah? Jawabannya relatif. Suatu saat dia akan naik kereta membawa anak istrinya dari Yogya ke Malang. Di tiket tertulis kereta akan berangkat pada pukul 12, sehingga mereka pada pukul 11 sudah datang. Tapi ternyata menurut si penjaga stasiun, kereta biasanya datang pada pukul 2, walaupun di tiket tertulis pukul 12. Pendeta dan keluarganya terpaksa harus begadang menunggu kereta. Begitu lama waktu berlalu. Terasa begitu menderita. Karena mereka tidak mengerti tujuan dari kesulitan yang mereka alami, merasa tidak semestinya susah begitu. Berbeda dengan saat Pendeta dengan sukacita bergadang nonton bola, waktu tidak terasa lama dan menyiksa karena dia tahu untuk apa dia tidak tidur.

Karena itu, bila ada penderitaan datanglah lebih dekat kepada Tuhan, supaya kita dapat mengerti apa yang menjadi maksud dan tujuanNya mengijinkan kita mengalami kesulitan tersebut.

2. Iman Musa percaya, bahwa Tuhan pasti punya jalan keluar
Dalam film, yang berkuasa adalah sang sutradara. Kadang kita bertanya, kenapa Jet Li dalam film walaupun musuh sudah mengepung tetap bisa menang? Karena sutradara menentukan seperti itu.

Dalam alam semesta ini, siapakah yang jadi sutradaranya? Tentu Tuhan.
Musa percaya dan yakin kepada Tuhan.
Di ayat 13, dia berkata ”
janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari Tuhan, yang akan diberikanNya hari ini kepadamu. Sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya. Tuhan akan berperang untuk k
kamu, dan kamu akan diam saja”.

Musa dengan imannya melihat hal-hal yang belum terjadi, termasuk kemenangan mereka. Dia percaya, Tuhan pasti akan berikan jalan keluar.

"orang Mesir yang kamu lihat ini tidak akan kamu lihat lagi." Kalimat ini sesungguhnya mengandung dua kemungkinan. Orang Mesir yang hancur sehingga mereka tidak akan terlihat lagi, atau orang Israel yang hancur sehingga mereka tidak akan melihat orang Mesir lagi karena mereka sudah bertemu Tuhan.

Musa tidak tahu jalan keluar seperti apa yang Tuhan miliki bagi mereka. Tapi percayalah bahwa dalam apa pun, Tuhan pasti punya jalan keluar yang terbaik. Terbaik tidak selalu sama dengan yang sesuai dengan keinginan kita.


Janganlah mencoba mengambil peran Tuhan sebagai sutradara dalam kehidupan kita. Jangan mengaturNya. Kita adalah aktor, memainkan peran yang Tuhan percayakan bagi kita. Dan dalam apa pun, ingatlah bahwa Tuhan pasti menyertai, Dia tidak pernah tinggalkan kita. Dia tahu semua detil kehidupan yang kita alami.

Dia mengerti, Dia peduli, persoalan yang kita hadapi.
Dia mengerti, Dia peduli, persoalan yang kita alami.
Namun satu yang Dia minta, agar kita percaya, sampai mujizat menjadi nyata.

He knows what He’s doing.

Monday, January 26, 2009

TRUST and OBEY

Yohanes 21:1-10
Yesus menampakkan diri kepada murid-muridNya di pantai danau Tiberias

Menunggu tanpa kepastian adalah hal yang begitu sulit untuk dilakukan. Simon Petrus dan murid-murid lainnya sedang menunggu: what next? Tuhan sudah bangkit, tapi lalu?

Simon mengambil inisiatif untuk menangkap ikan, kembali ke profesi lamanya, dari pada hanya menganggur saja (ayat 3). Murid-murid lain pun setuju dan ikut apa yang diinisiasikan Petrus.

Semalam berlalu, dan ternyata mereka tidak menangkap apa-apa. Walaupun mereka memiliki pengalaman sebagai penangkap ikan, tapi hari itu tidak ada hasil. Mereka sudah melempar jala ke mana-mana, tapi tidak ada ikannya.

Untungnya cerita tidak berakhir disana. Ketika hari mulai siang, Yesus berdiri di pantai, mengamati dan memahami apa yang dirasakan oleh murid-muridNya. Dia mengamati, dan tahu apa yang dialami mereka. Tuhan mau campur tangan, tapi murid-murid terlalu sibuk dengan aktifitas mereka sehingga tidak mengenalinya.

Yesus bertanya kepada mereka; ”apakah kamu memiliki lauk pauk?” (ayat 5). Ini bukan sindiran bagi para murid. Dia hanya ingin menarik perhatian murid-murid dari jala, perahu, ikan kepadaNya.

Kenapa topik yang diangkat Tuhan adalah lauk pauk? Ini karena Tuhan ingin menanyakan kejujuran mereka. Ini berkaitan dengan ego à apakah murid-murid mau mengakui bahwa mereka tidak punya apa-apa, gagal walaupun semalaman telah berusaha atau tidak. Dan akhirnya murid-murid pun mengakui bahwa mereka gagal, baik secara rohani (hubungan dengan Tuhan setelah Dia bangkit) maupun jasmani (soal lauk pauk).

Menariknya, baru pada saat murid-murid mengakui bahwa mereka tidak punya apa-apa barulah Tuhan yesus menolong. Ia memberi instruksi, ”tebarkanlah jalamu ke sebelah kanan perahu” (ayat 6). Tuhan tidak memberikan solusi yang spektakuler. Pertanyaannya, maukan taat kepada Tuhan walaupun solusinya tidak terlihat luar biasa?

Murid-murid tetap taat dengan solusi yang diberikan kepada mereka, walaupun pastilah mereka sudah mencoba berkali-kali, baik sisi kiri maupun kanan perahu. Mereka juga tidak mendebat, sebelah kanan Tuhan apa sebelah kanan kami? Kan sebelah kanan Tuhan sebelah kiri kami (karena berhadapan) J

Saat mereka menaati, Tuhan menolong. Ayat 6: mereka tidak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan.

Kita tidak bisa mengerti semua. Tapi bukan bagian kita untuk memahami segala sesuatu. Bagian kita adalah menaati.

Begitu mereka selesai, Tuhan sudah menyiapkan api di daratan (ayat 9). Tuhan tahu apa yang mereka perlukan.

Zaman ini kita begitu aktif. Sama seperti Petrus, kita tidak bisa duduk diam. Ada luka bathin dan rasa bersalah yang mendalam karena ia telah mengkhianati Yesus, jadi dia menutupinya dengan aktif kanan kiri.

Hal yang menarik lainnya adalah, Tuhan tidak meninggalkan kita sendiri. Tapi kita seringkali tidak melihat Dia, karena kita terlalu sibuk mengejar berkat – bukan Sang Pemberi berkat itu sendiri.

Tuha bukannya tidak mau memberkati, tapi kita tidak siap menerimanya karena kita berfokus pada hal yang salah. Kita fokus di apa yang kurang saja.

Iman bukan sekedar percaya. Iman berarti mau mempercayakan diri kepada Tuhan. Mengakui terlebih dahulu, bahwa kita tidak bisa, kita tidak punya apa-apa, tapi kita percaya bahwa Tuhan akan menolong. Akuilah ini di hadapan Tuhan, duduk diam di hadapanNya, dan nantikan Dia bertindak.

(catatan khotbah dari Pdt. Roby Chandra, Maret 2008)

Tinggal Tenang dan Percaya

(catatan dari khotbah Robby Chandra, 29/03/08)

Yes. 30:15-16
Sebab beginilah firman Tuhan Allah, Yang Mahakudus, Allah Israel: “dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.”
Tetapi kamu enggan, kamu berkata: ”bukan, kami mau naik kuda dan lari cepat,”
Maka kamu akan lari dan lenyap.
Katamu pula: ”kami mau mengendarai kuda tangkats,”
Maka para pengejarmu akan lebih tangkas lagi.

Ay. 18
Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kepada kasihNya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu.
Sebab Tuhan adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!

Application:

  • Ssshhh.... Belajarlah untuk diam di hadapan Tuhan dan nikmati kehadiranNya. No need to explain, do not ask for anything for He knows! Just be still and know that He is God.
  • Percaya vs. Mempercayakan diri. Mempercayakan diri = menggantungkan diri, menyerahkan diri. Lebih dari sekedar knowledge (percaya). Contohnya, kita tahu Tuhan bisa membuat keajaiban-keajaiban dan menolong kita keluar dari situasi yang sulit. Tapi maukah kita mempercayakan diri kita kepada Tuhan untuk itu?
    Kita tidak bisa mengontrol segala sesuatu, karena itu percayakanlah segala sesuatunya kepada Tuhan. Apa yang bagian kita, kita kerjakan. Tapi percayakanlah bagian yang lainnya kepada Tuhan. Sesungguhnya ini akan membuat kita lebih kuat karena kita bisa menyerahkan bagian yang tidak bisa kita kontrol kepada Tuhan yang mengatur segala sesuatu. Inilah latihan iman yang sesungguhnya: percaya (bahwa Tuhan bisa) dan mau mempercayakan diri kita pada pertolonganNya.
  • Bagaimana cara mengetahui dan membedakan mana bagian kita dan mana bagian Tuhan? Untuk peka pada kehendakNya, kita perlu retreat pribadi secara teratur. Diam dan tenang di hadapan Tuhan. Dan beradalah di saat ini dengan Tuhan (bukan diikat masa lalu atau khawatir masa depan).

Friday, January 18, 2008

Exemplify Servant Leadership

January 2008' Devotion

Filipi 2: 1-11

Kemarin dalam ibadah hari Minggu, ada satu hal menarik yang diungkapkan oleh Pengkhotbah. Dia bilang bahwa sejarah membuktikan kejatuhan gereja atau kekristenan itu lebih disebabkan oleh karena masalah-masalah dari dalam, daripada masalah-masalah dari luar. Di banyak tempat, tekanan-tekanan dari luar seperti penganiayaan terhadap umat Kristiani pada akhirnya lebih membuat kekristenan bertahan daripada terpecah-belah. Tetapi sebaliknya, masalah-masalah internal, konflik dan perbedaan pendapat terbukti lebih ampuh untuk menyebabkan perpecahan gereja atau organisasi kristen lainnya.

Korban dari perpecahan-perpecahan gereja sudah banyak. Sayangnya, hal ini terus saja terjadi di banyak tempat, dari waktu ke waktu. Pada akhirnya yang tertinggal adalah umat Tuhan yang menjadi apatis, menjadi tawar hati atau pun menarik diri dari kegiatan gereja. Saya melihat hal ini dialami oleh sepupu saya yang tinggal di Belanda. Dia dulunya sering hadir di salah satu gereja Indonesia yang ada di sana. Jemaat tersebut sempat berkembang pesat. Sayangnya, ada satu isu tentang masalah keuangan yang terus bertiup, yang tentu saja peniupnya adalah orang-orang di gereja ini juga. Pada akhirnya orang-orang yang menjadi oposan pemimpin gereja ini memisahkan diri dan mendirikan gereja lain. Setelah itu yang terjadi adalah perebutan jemaat lewat hasut menghasut. Akibatnya, justru jadi banyak jemaat yang kecewa dan jadi malas ke gereja.

Kalau seperti ini, tentu harga yang dibayar menjadi terlalu mahal. Kita butuh belajar dari pengalaman supaya hal-hal seperti ini bisa dihindari. Sebenarnya, hal seperti ini bukan barang baru. Bahkan di awal mula kekristenan pun, bisa jadi Paulus merasakan adanya indikasi bahwa jemaat di Filipi mengarah ke sana juga, karena itu dia menulis Filipi pasal 2 ini. Di sini Paulus menyebutkan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya perpecahan, yaitu mencari kepentingan sendiri, menganggap diri sendiri lebih utama daripada orang lain, dan juga mencari puji-pujian yang sia-sia. Kalau diintisarikan, inti dari perpecahan sebenarnya adalah masalah ego. Semua ingin jadi yang utama, semua ingin jadi yang paling penting, semua ingin dapat pujian. Karena itulah orang jadi sikut menyikut, saling menjatuhkan. Tidak ada yang mau mengalah.

Sangat wajar memang saat orang mau jadi yang pertama, karena dimana-mana pelayanan buat yang first class, buat yang VIP itu lebih menyenangkan dari yang umumnya. Belum juga soal status sosial yang didapat, kehormatan, kekuasaan dan lain sebagainya. Murid-murid Tuhan Yesus pun punya sifat seperti ini juga. Mereka melihat bahwa ada yang berbeda dengan Tuhan Yesus, Dia bukanlah pemimpin politik atau apa. Tapi tetap saja ada harapan dari murid-murid Tuhan bahwa Tuhan Yesus bisa benar-benar menjadi raja di dunia ini, sehingga mereka paling tidak bisa jadi semacam menteri-menterinya Tuhan Yesus. Sehingga seringkali terjadi perdebatan diantara mereka, siapa yang terbesar diantara mereka, siapa yang layak dapat posisi di kiri dan kanan Tuhan Yesus. Mereka mau jadi yang terutama, yang paling penting.

Respon Tuhan Yesus tentang ini sungguh penuh dengan paradoks. Kejadian pertama saat Yohanes dan Yakobus minta dapat posisi di kiri dan kanan Tuhan Yesus (Markus 10: 42-45). Di situ Tuhan bilang bahwa siapapun yang ingin menjadi besar, haruslah menjadi pelayan. Siapa yang mau jadi terkemuka, haruslah menjadi hamba. Yang kedua saat selesai perjamuan makan, murid-murid bertengkar tentang siapa yang terbesar, di Lukas 22:24-30 jawaban Tuhan Yesus tetap serupa. Siapa yang mau menjadi yang terbesar, haruslah menjadi hamba.

Hal inilah yang juga ditekankan Paulus di kitab Filipi. Dia menasihatkan agar kita bisa menganggap orang lain lebih penting dari diri kita sendiri. Belajar menjadi serupa Kristus, yang telah mengosongkan dirinya dan tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai hak yang harus dipertahankan (ayat 6&7).

Satu-satunya manusia yang bisa memilih mau lahir dimana, dan memilih siapa yang bisa jadi orang tuanya adalah Yesus. Tapi lihatlah apa yang dipilihNya. Dia memilih lahir di kandang, kandang pinjaman pula. Dilahirkan dari pasangan yang sangat sederhana, ayahnya hanya seorang tukang kayu. Seumur hidupnya juga penuh dengan kesederhanaan, bahkan Dia banyak disalahmengerti, dicurigai, dihina, disiksa, dan lain sebagainya. Padahal Dia adalah Allah. Kalau mau bicara hak, dialah yang paling berhak dihormati, disanjung dan dimuliakan. Saat Dia akan ditangkap untuk disalib, Dia punya hak untuk memanggil malaikat-malaikatNya untuk membela Dia. Tapi itu semua tidak dilakukanNya. Dia mengosongkan diriNya, rela menjadi manusia, bahkan rela dipandang hina.

Di Eropa, banyak kerajaan-kerajaan yang saling berkunjung satu dengan yang lain. Suatu hari, datang seorang bapak dengan pakaian sederhana mengunjungi satu gereja di Inggris. Dia duduk di satu tempat duduk di bagian depan. Lalu datanglah seorang gadis bangsawan, dan saat melihat bapak ini dia langsung jadi tidak senang. Ini ternyata karena bapak tersebut duduk menempati tempat yang biasa dia tempati. Singkatnya, gadis ini lalu meminta ajudannya menyuruh bapak ini pindah. Bapak ini menurut, lalu duduk di bagian belakang. Setelah kebaktian selesai, gadis ini didatangi pastor di gereja tersebut. Pastor itu bertanya, ke mana bapak yang tadi duduk disini? Bapak itu adalah raja di Belgia. Gadis ini langsung jadi malu. Mau mencari raja tersebut untuk minta maaf, raja tersebut sudah tidak kelihatan lagi.

Seringkali kita juga bersikap seperti gadis ini, merasa lebih penting, merasa lebih berhak. Tapi bukan seperti itu panggilan Tuhan untuk kita. Tuhan memanggil kita untuk jadi pelayan. Posisi sebagai pemimpin yang Tuhan berikan bukan digunakan untuk menguasai orang lain, melainkan untuk melayani orang lain. Di Alkitab sebenarnya tidak ada istilah kepemimpinan. Banyak pemimpin luar biasa seperti Daud, Musa, Abraham.... tapi Tuhan tidak menyebut mereka sebagai ’pemimpinku yang setia’, melainkan sebagai ’hambaku yang setia’.

Menjadi hamba butuh kerendahan hati. Bukan artinya kita jadi merasa kecil, tak berarti dan tak punya dignity. Tapi menjadi hamba artinya kita mau mengosongkan diri kita, ourself and ego being made nothing, supaya kita bisa digunakan oleh Tuhan untuk melayani orang lain, dan menolong orang lain menemukan panggilan Tuhan dalam hidup mereka. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan yang melayani. Dan untuk inilah kita dipanggil.

Monday, January 14, 2008

Willing to be Forgotten

November's devotion
Reading: Luke Chapter 2: 8 – 20, 41 – 51.

A few days ago I read an article in a newspaper, it was written by one of my favorite writer who usually write articles about wisdom. The title was ‘Berbahagia Menjadi Nomor Dua’, (happy or satisfied to be the number two). I was struck by this title, because since I was small I was so used to the message from teachers or adults around me saying that we should strive to be the number one. Being the number one means that we are better than other people who are competing against us. So why should we feel content by being the number two? We should be the number one to get people’s recognition.

I guess most of us are used to this kind of message because they’re around us so much. And this is the world that we are living in. In working place, in school, in business, even in church… this world tells you that you are great if you can be the number one. So you have to compete to reach the top position. Sometimes, the road that you take in order to win something is not that important anymore, as long as you win. For some people, it doesn’t matter if you hurt others, because that’s what competition is all about, you can’t avoid it, as long as you can get to the center stage. That’s how the world defines greatness.

But in the article that I read, the writer argues that the genuine greatness is when you actually willing to be the number two. You are great when you have done much, you have contributed a lot, but you are OK by staying in the back stage. You let others to gain the credits because you are not seeking people’s recognition. And when you are humble enough to do that, it means that you are able to defeat your ego that tells you that you have to be the hero. When you are happy to be the number two, that means you can accept that there is someone who is better than you in something, and this requires greatness.

In today’s reading I learn something that relates to this from Mary. Imagine, the shepherds come from a place that is far just to meet them and worship her baby. And these shepherds said that angels spoke to them, saying that her baby is Christ the Lord, the Savior who came from the highest heaven! When the shepherds told her about this, look in verse 18, it is said that all were amazed! This is a miracle. But look at the way Mary respond, verse 19: ‘Mary remembered all these things and thought deeply about them’. In another translation, it is said that Mary keeps all things in her heart. She did not brag upon the fact that it was her who carried the baby for 9 months. She did not say to the shepherds ‘look, the baby that you are worshipping right now is my baby. Out of all women here on earth it is I who was chosen to be his earthly mother.’ She did not try to look heroic in front of the shepherds; she did not try to gain credit for all of her contribution. She let Jesus to be in the center stage, she did not try to steal Jesus’ popularity, and she didn’t want to get the shepherd’s credits and praise. She just keeps quite, humbly keep the great things that is currently happening in her heart.

Same thing happened again when Jesus was bigger. One day Mary and Joseph took the boy Jesus to a festival. When the festival was over they started to go back home but the boy Jesus stayed in Jerusalem. They have traveled a whole day already when they finally realized that Jesus was not in the group. After three days in search for Jesus, they found him in the temple, sitting with adults, Jewish teachers, intelligent people… and Jesus was having discussion with them, just like adults. And mind you, only adults who are intelligent enough are able to discuss something with the teachers… So as Jesus parents, they must be really proud to see that their kid is able to do something that they were not able to do, in such a young age. But how did Mary respond to this? In verse 51, it is stated that ‘His mother (Mary) treasured all these things in her heart’. She did not say, hey look, he’s my boy, and I raised him to be this intelligent or things like that. Again, despite of her great contribution by raising Jesus she did not say anything, she’s willing to be at the back stage, and she’s even willing to be forgotten. She realized that the center of attention should be on Jesus, and not on her. She knows what her part is.

Sometimes, we work so hard on something, but we didn’t get the credit for it because maybe we are working on the back stage. It’s like in the movie, people usually only recognized the actor/actrees. People said oh this actor plays good, but they forgot that there’s a director who directed the actor, there’s this camera men who work hard to get the best angle of the actor, and there’s the editor who cut all the bad shots of the actor.
What if in your working place, or in your church, you are working in the back stage as well, and you don’t get much attention or credit for things that you are doing? Will you feel upset? Or will you be like Mary, who keeps all things in her heart, knowing that God knows what she has done and appreciating it?

Be Strong in the Lord and Be of Good Courage

July' devotion

Reading from Matthew 14: 22 – 36 (Jesus Walks on Water)

Ada satu lagi keajaiban yang dilakukan Tuhan Yesus, yang diceritakan di Matius 14: 22 – 36, yaitu Tuhan Yesus berjalan di atas air. Kisahnya pendek, tapi ada begitu banyak hal yang bisa dipelajari dari sini. Lewat kisah ini saya rindu mengajak kita belajar dari setidaknya tiga tokoh yang ada di kisah ini, yaitu murid-murid Tuhan, Petrus, dan Tuhan Yesus sendiri.

Yang pertama, mari kita memikirkan tentang kisah ini lewat perspektif dari murid-murid Yesus. Situasinya adalah, murid-murid Yesus itu baru saja bersama Tuhan Yesus memberi makan 5 ribu orang. Lalu di ayat 22 dicatat, Tuhan memerintahkan mereka untuk naik ke kapal. Di terjemahan bhs Inggris dikatakan, Jesus made the disciples get into the boat. Jadi disini saya melihat bahwa mungkin murid2nya sedang buat sesuatu yang lain, mungkin mereka lagi heboh membahas keajaiban yg baru terjadi yaitu 5 ribu orang bisa makan bermodalkan 5 roti dan 2 ikan, mungkin ada yang mau menyuruh 5 ribu orang ini pulang dulu atau apa, tapi somehow, Jesus made the disciples get into the boat whether they like it or not. Sudah begitu, cuaca juga lagi buruk, dicatat bahwa angin kencang bertiup, kapalnya goyang2, Tuhan Yesus gak ada lagi, wah semua murid takut. Disini juga dibilang bahwa setelah menyuruh orang banyak pulang, Tuhan Yesus pergi berdoa dulu, gak langsung nyusul murid2Nya naik kapal, pakai naik ke atas bukit pula, jadi ada saat yang lumayan lama dimana murid2 dibiarkan sendiri di tengah ombak yg ganas. Mereka khawatir, mereka takut, suasana tegang. Keadaan begitu terus sampai subuh, dan tiba2 tampak bayangan putih mengapung di atas air yang berjalan mendekat ke arah kapal mereka. They cried out in fear, begitu kata Alkitab. Sungguh2 ketakutan.

Kalau kita analisa, rasa takut itu muncul sebenarnya dari rasa tidak aman. Dan rasa tidak aman ini muncul karena rasa tidak percaya. Seperti yang dibagikan pak Kresna, semakin kita kenal dekat dengan seseorang, semakin low risk yg kita hadapi karena kita tau orang ini seperti apa, kalau dia perilakunya sesuai dengan yg kita harapkan, kita bisa percaya padanya.

Nah, kalau balik lagi ke soal murid2 Tuhan, dari sini kita bisa melihat bahwa sebenarnya, mereka kurang mengenal Tuhan mereka. Di pasal2 sebelumnya diceritakan bagaimana murid2 ini menyaksikan keajaiban2 yang Tuhan buat. Tuhan sendiri juga sudah berulang kali mengingatkan agar murid2 jangan khawatir, di pasal 10 Tuhan bilang don’t be affraid, kamu jauh lebih berharga daripada burung. Jangan takut. Tapi begitu mereka sendiri yang mengalami masalah, mereka lupa tentang itu semua. Mereka bahkan tidak mengenali Tuhan Yesus, dipikirnya hanya hantu yang bisa jalan di atas air, lupa bahwa Tuhan bisa buat berbagai keajaiban. Murid2 kurang percaya, karena kurang mengenal Tuhan Yesus.

Yang kedua kita belajar dari Petrus. Petrus disini disorot secara khusus karena dia adalah seorang risk taker, dia berani mengajak bicara sosok di atas air yang semua orang lain pikir adalah hantu. Bahkan, dia berani menawarkan diri; ”Tuhan kalau itu Engkau, suruhlah aku untuk datang kepadaMu”, katanya. Saya bayangkan Petrus ini benar2 orang feeler banget yah, yg spontaneus begitu. Kalau thinker soalnya, dia akan berpikir2 dulu. Air itu kan tidak solid, jadi logikanya kalau diinjak tenggelam dong. Atau berpikir, kalau itu memang Tuhan amannya biar saja Tuhanlah yang ke sini gak perlu saya ke sana. Ini kelemahan thinker, terlalu banyak menghitung2 dengan logika, sehingga kalau disuruh percaya kadang susah, terlalu bersandar pada pikiran sendiri soalnya. Tapi Petrus tidak, dia tanpa berpikir susah2 langsung secara spontan merasa aman, oh kalau itu Tuhanku, aku pasti akan selamat. Dia berani ambil resiko karena dia punya iman.

Masalahnya adalah, imannya itu ternyata dangkal. Dengan mengikuti feelingnya dia sudah bisa jalan beberapa langkah, tapi di ayat 10 dibilang bahwa disaat dia merasakan tiupan angin, dia ketakutan, kehilangan imannya, dan mulai tenggelam. Petrus ternyata tidak jauh beda dengan murid2 yang lain. Awalnya punya iman, tapi begitu ada masalah (angin), dia sadar akan besarnya resiko dan jadi hilang percaya.

Nah, terakhir mari melihat kisah ini dari sisi Tuhan Yesus. Saat melihat murid2Nya takut, Dia berkata dalam terjemahan bahasa Inggris ayat 27: ”Be brave!! It is I, dont be afraid”. Jadilah berani, jangan takut! Kalimat ini sudah begitu sering Tuhan ucapkan. Ini bukan kali pertama Tuhan Yesus dan murid2 ada di situasi badai. Sebelumnya di pasal 8, waktu itu Tuhan sedang tidur dan kapal sedang dilanda badai. Menanggapi murid2 yang panik Tuhan berkata di ayat ke 26, ”your faith is so small! Why are you so afraid?” Tuhan terdengar gusar menghadapi murid2nya yang kurang percaya.

Teman2, Tuhan gak pernah minta kita untuk punya blind faith, alias main percaya aja tanpa ada dasar yang kuat. Kepada murid2nya Dia berkali2 mengeluarkan pernyataan yg encouraging; jangan khawatir, jangan takut. Selain di pasal 10 ada juga di pasal 6:30: rumput yang ada hari ini dan besok layu saja dipelihara. Apalagi kamu. Sekali lagi disitu Tuhan menegur kepada kita yg terlalu khawatir; “your faith is so small!”

Dia tidak saja berkata2. Lebih dari itu, Dia menunjukkan kuasanya lewat keajaiban2 yg gak bisa diolah pikiran, alias hanya iman saja yang bisa menjelaskan. Masalahnya, kita sering lupa tentang apa saja yang pernah kita lalui bersama Tuhan, pertolongan2 apa yang Tuhan pernah berikan saat kita sedang kesusahan. Sehingga begitu kita ada masalah, kita easily get discouraged. Seperti murid2Nya, kita lupa akan pertolongan2 Tuhan selama ini.

Mari kita lihat keajaiban2 yang pernah diperbuat Tuhan. Lewat keajaiban2 ini, bisa ditarik benang merah yaitu Tuhan mau menunjukkan bahwa yang terpenting adalah iman. Contohnya di pasal 8, Tuhan menyembuhkan orang yang sakit kusta. Orang kusta ini bilang, ”if you are willing (to heal me), You can do it”. jadi buat orang kusta ini, masalahnya bukan Tuhan Yesus bisa tidak nyembuhin saya. Orang kusta ini punya iman bahwa Tuhan bisa, yg jadi isu disini adalah Tuhan mau tidak? Dan ternyata karena melihat iman orang ini Tuhan menyembuhkan.

Masih di pasal 8, ada perwira yang memohon hambanya disembuhkan. Dia bilang, Tuhan gak usah repot2 datang, katakan saja sepatah kata dan dia pasti sembuh. Di situ dikatakan ’Jesus was amazed’, kagum dengan iman perwira ini. Tuhan bilang ’your faith is so strong’, dan karena itu keajaiban terjadi yaitu hamba perwira ini disembuhkan.

Pasal selanjutnya pasal 9, ada perempuan yang mengalami pendarahan. Dia beriman, asal bisa sentuh Tuhan saja, dia pasti sembuh. Dan melihat imannya Tuhan menyembuhkan dia, dan Tuhan bilang, “your faith has healed you”. Bukan kelebihannya, bukan kebaikannya, bukan pengetahuannya. Tapi yang menyembuhkan perempuan ini adalah imannya.

Buat Tuhan, iman itu adalah masalah yang sangat penting. Menanggapi orang buta yang minta disembuhkan, di pasal 9 Ayat 28 Tuhan bertanya: ’do you believe that I can do this?’ Tuhan kan bisa saja langsung menyembuhkan orang ini tanpa bertanya2. Jawaban orang ini tidak akan sedikitpun menambahkan atau mengurangi kemampuan Tuhan dalam menyembuhkan. Tapi Tuhan bertanya juga, karena Ia ingin mendengar pengakuan iman kita. Ngapain Ia melakukan keajaiban bila kitanya tidak percaya bahwa Ia sanggup. Dan selanjutnya, mendengar iman dari orang buta ini, di ayat 29 Tuhan berkata: ‘it will happen to you just as you believed’. Akan terjadi pada kita seperti apa yg kita percayai. It is in the state of mind.

Terakhir, yang saya pelajari adalah, Tuhan memang berjanji akan melindungi kita, tapi dia tidak pernah berjanji untuk meniadakan badai. Contohnya di pasal 14 ini. Tuhan kan tau bahwa Petrus akan ketakutan dengan angin yang besar. Dia juga mampu meniadakan angin itu agar Petrus dapat berjalan mendekatiNya dengan tenang. Tapi tidak, Dia tidak melakukannya. Dia membiarkan ada badai, ada angin kencang dalam kehidupan kita untuk melihat, kita punya iman gak bahwa dengan Tuhan kita akan mampu mengatasinya? Percaya gak bahwa Tuhan mampu menolong kita?

Perhatikan di bagian paling akhir dari pasal 13 dikatakan bahwa “Jesus did only a few miracles because they had no faith’. Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang sama, membatasi pekerjaan Tuhan lewat kita karena kita tidak percaya Dia sanggup. Kadang kita suka terlalu ragu, apa kita mampu. Dan respon yg keluar saat Tuhan memberi tugas adalah seperti respon dari Musa, kita bargaining dengan Tuhan, kita bilang bahwa kita gak pandai bicaralah, gak bisa ini dan gak bisa itu... semua itu karena kita terlalu meragukan diri kita sendiri. Tetapi ingat bahwa di saat kita terlalu meragukan diri kita, itu sama juga dengan kita meragukan Tuhan (Sang Pemberi Tugas). Seakan2 kita ragu bahwa Ia akan sanggup memperlengkapi kita. Balik lagi ke pasal 14, 31, disitu Tuhan bilang: ”your faith is so small. Why did you doubt me?” Tuhan bertanya, kenapa kamu meragukan Aku? Kebayang kalo Tuhan itu mengatakan ini dengan nada tersinggung.

Di pasal selanjutnya Tuhan masih bersabar, dengan terus melakukan mujizat2 yg hanya bisa dimengerti dengan iman (lihat pasal 15: 28, 16: 8 – 10). Dan di pasal 17 ayat 14 – 27 dituliskan ttg Tuhan mengusir setan, hal yang tidak dapat dilakukan murid2Nya karena their ’faith is much too small’ (ay. 20). Di kisah ini dituliskan bagaimana Tuhan mengeluarkan respon yang sangat keras kepada murid2Nya, katanya (ay. 17) ”you unbelieving and evil people. How long do I have to put up with you?” Jangan buat Tuhan jadi tidak sabar dengan ketidakpercayaan kita.

Psalm 91:14, Tuhan berkata “I will keep him safe, because he trusts in me”. Tuhan hanya akan bisa bebas melakukan perkara2 yang besar lewat kita, jika kita percaya. Do you believe that I can do this? Tuhan bertanya kepada kita.