Friday, January 18, 2008

Exemplify Servant Leadership

January 2008' Devotion

Filipi 2: 1-11

Kemarin dalam ibadah hari Minggu, ada satu hal menarik yang diungkapkan oleh Pengkhotbah. Dia bilang bahwa sejarah membuktikan kejatuhan gereja atau kekristenan itu lebih disebabkan oleh karena masalah-masalah dari dalam, daripada masalah-masalah dari luar. Di banyak tempat, tekanan-tekanan dari luar seperti penganiayaan terhadap umat Kristiani pada akhirnya lebih membuat kekristenan bertahan daripada terpecah-belah. Tetapi sebaliknya, masalah-masalah internal, konflik dan perbedaan pendapat terbukti lebih ampuh untuk menyebabkan perpecahan gereja atau organisasi kristen lainnya.

Korban dari perpecahan-perpecahan gereja sudah banyak. Sayangnya, hal ini terus saja terjadi di banyak tempat, dari waktu ke waktu. Pada akhirnya yang tertinggal adalah umat Tuhan yang menjadi apatis, menjadi tawar hati atau pun menarik diri dari kegiatan gereja. Saya melihat hal ini dialami oleh sepupu saya yang tinggal di Belanda. Dia dulunya sering hadir di salah satu gereja Indonesia yang ada di sana. Jemaat tersebut sempat berkembang pesat. Sayangnya, ada satu isu tentang masalah keuangan yang terus bertiup, yang tentu saja peniupnya adalah orang-orang di gereja ini juga. Pada akhirnya orang-orang yang menjadi oposan pemimpin gereja ini memisahkan diri dan mendirikan gereja lain. Setelah itu yang terjadi adalah perebutan jemaat lewat hasut menghasut. Akibatnya, justru jadi banyak jemaat yang kecewa dan jadi malas ke gereja.

Kalau seperti ini, tentu harga yang dibayar menjadi terlalu mahal. Kita butuh belajar dari pengalaman supaya hal-hal seperti ini bisa dihindari. Sebenarnya, hal seperti ini bukan barang baru. Bahkan di awal mula kekristenan pun, bisa jadi Paulus merasakan adanya indikasi bahwa jemaat di Filipi mengarah ke sana juga, karena itu dia menulis Filipi pasal 2 ini. Di sini Paulus menyebutkan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya perpecahan, yaitu mencari kepentingan sendiri, menganggap diri sendiri lebih utama daripada orang lain, dan juga mencari puji-pujian yang sia-sia. Kalau diintisarikan, inti dari perpecahan sebenarnya adalah masalah ego. Semua ingin jadi yang utama, semua ingin jadi yang paling penting, semua ingin dapat pujian. Karena itulah orang jadi sikut menyikut, saling menjatuhkan. Tidak ada yang mau mengalah.

Sangat wajar memang saat orang mau jadi yang pertama, karena dimana-mana pelayanan buat yang first class, buat yang VIP itu lebih menyenangkan dari yang umumnya. Belum juga soal status sosial yang didapat, kehormatan, kekuasaan dan lain sebagainya. Murid-murid Tuhan Yesus pun punya sifat seperti ini juga. Mereka melihat bahwa ada yang berbeda dengan Tuhan Yesus, Dia bukanlah pemimpin politik atau apa. Tapi tetap saja ada harapan dari murid-murid Tuhan bahwa Tuhan Yesus bisa benar-benar menjadi raja di dunia ini, sehingga mereka paling tidak bisa jadi semacam menteri-menterinya Tuhan Yesus. Sehingga seringkali terjadi perdebatan diantara mereka, siapa yang terbesar diantara mereka, siapa yang layak dapat posisi di kiri dan kanan Tuhan Yesus. Mereka mau jadi yang terutama, yang paling penting.

Respon Tuhan Yesus tentang ini sungguh penuh dengan paradoks. Kejadian pertama saat Yohanes dan Yakobus minta dapat posisi di kiri dan kanan Tuhan Yesus (Markus 10: 42-45). Di situ Tuhan bilang bahwa siapapun yang ingin menjadi besar, haruslah menjadi pelayan. Siapa yang mau jadi terkemuka, haruslah menjadi hamba. Yang kedua saat selesai perjamuan makan, murid-murid bertengkar tentang siapa yang terbesar, di Lukas 22:24-30 jawaban Tuhan Yesus tetap serupa. Siapa yang mau menjadi yang terbesar, haruslah menjadi hamba.

Hal inilah yang juga ditekankan Paulus di kitab Filipi. Dia menasihatkan agar kita bisa menganggap orang lain lebih penting dari diri kita sendiri. Belajar menjadi serupa Kristus, yang telah mengosongkan dirinya dan tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai hak yang harus dipertahankan (ayat 6&7).

Satu-satunya manusia yang bisa memilih mau lahir dimana, dan memilih siapa yang bisa jadi orang tuanya adalah Yesus. Tapi lihatlah apa yang dipilihNya. Dia memilih lahir di kandang, kandang pinjaman pula. Dilahirkan dari pasangan yang sangat sederhana, ayahnya hanya seorang tukang kayu. Seumur hidupnya juga penuh dengan kesederhanaan, bahkan Dia banyak disalahmengerti, dicurigai, dihina, disiksa, dan lain sebagainya. Padahal Dia adalah Allah. Kalau mau bicara hak, dialah yang paling berhak dihormati, disanjung dan dimuliakan. Saat Dia akan ditangkap untuk disalib, Dia punya hak untuk memanggil malaikat-malaikatNya untuk membela Dia. Tapi itu semua tidak dilakukanNya. Dia mengosongkan diriNya, rela menjadi manusia, bahkan rela dipandang hina.

Di Eropa, banyak kerajaan-kerajaan yang saling berkunjung satu dengan yang lain. Suatu hari, datang seorang bapak dengan pakaian sederhana mengunjungi satu gereja di Inggris. Dia duduk di satu tempat duduk di bagian depan. Lalu datanglah seorang gadis bangsawan, dan saat melihat bapak ini dia langsung jadi tidak senang. Ini ternyata karena bapak tersebut duduk menempati tempat yang biasa dia tempati. Singkatnya, gadis ini lalu meminta ajudannya menyuruh bapak ini pindah. Bapak ini menurut, lalu duduk di bagian belakang. Setelah kebaktian selesai, gadis ini didatangi pastor di gereja tersebut. Pastor itu bertanya, ke mana bapak yang tadi duduk disini? Bapak itu adalah raja di Belgia. Gadis ini langsung jadi malu. Mau mencari raja tersebut untuk minta maaf, raja tersebut sudah tidak kelihatan lagi.

Seringkali kita juga bersikap seperti gadis ini, merasa lebih penting, merasa lebih berhak. Tapi bukan seperti itu panggilan Tuhan untuk kita. Tuhan memanggil kita untuk jadi pelayan. Posisi sebagai pemimpin yang Tuhan berikan bukan digunakan untuk menguasai orang lain, melainkan untuk melayani orang lain. Di Alkitab sebenarnya tidak ada istilah kepemimpinan. Banyak pemimpin luar biasa seperti Daud, Musa, Abraham.... tapi Tuhan tidak menyebut mereka sebagai ’pemimpinku yang setia’, melainkan sebagai ’hambaku yang setia’.

Menjadi hamba butuh kerendahan hati. Bukan artinya kita jadi merasa kecil, tak berarti dan tak punya dignity. Tapi menjadi hamba artinya kita mau mengosongkan diri kita, ourself and ego being made nothing, supaya kita bisa digunakan oleh Tuhan untuk melayani orang lain, dan menolong orang lain menemukan panggilan Tuhan dalam hidup mereka. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan yang melayani. Dan untuk inilah kita dipanggil.

No comments: